Selasa, 20 September 2016

TUGAS KULIAH


MASYARAKAT ADAT JAMBI
DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP


1.      Latar Belakang
Masyarakat adat atau kelompok suku sudah ada terlebih dahulu jauh sebelum negara-bangsa (nation-state) ini terbentuk. Komunitas ini merupakan struktur sosial yang tumbuh dari basis -basis lokal. Mereka memiliki pola hidup, sistem pengaturan sosial dan budaya masing-masing sesuai dengan adat istiadat yang telah dijalani turun temurun. Kelompok masyarakat adat ini memiliki ciri masing-masing, yang  membedakan antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya.Secara historis kita mengetahui bahwa masyarakat adat adalah suatu entitassosio-kultural yang mengatur diri sendiri (self governing). Melalui lembaga dan acuan adat yang dimiliki, identitas lokal diekspresikan, dan kepentingan kolektif dikomunitas tersebut dikelola. Dalam situasi seperti inilah kita bisa melihat kelompok suku atau masyarakat adat dalam coraknya yang asli. Institusi adat dibentuk dalam komunitas tersebut sebagai pembakuan dari perilaku kolektif. Sebagai contoh, tata kelembagaan masyarakat adat yang berada di pesisir, yang sebagian besar anggota kelompok tersebut adalah nelayan, berbeda dengan tata kelembagaan masyarakat adat di pedalaman yang hidup dari sektor pertanian. Artinya, institusi yang ada di dalam masyarakat adat dikembangkan sesuai dengan kondisi dan pola kehidupan komunitasnya. Jadi institusi yang akan terbentuk dalam sebuah masyarakat adat adalah tatanan yang dirancang dan disepakati oleh komunitas yang bersangkutan,dan institusi tersebut pada gilirannya menjadi andalan dalam mengatasi masalah yang muncul dalam komunitas tersebut.Masyarakat adat sebagai sebuah komunitas memiliki rasa saling mengerti,saling memiliki, dan ikatan emosional atas dasar ikatan budaya yang didasari atas agama, bahasa, adat istiadat yang sama dan satu perasaan demi nenek moyang yang sama. Ada perbedaan yang mendasar antara masyarakat adat dan etnisitas.Masyarakat adat adalah sebuah komunitas yang hidup di satu wilayah, dengan aturan yang disepakati bersama untuk diberlakukan dalam wilayah tersebut. Sementara etnisitas tidak memandang teritorial sebagai pemisah.Kehadiran masyarakat adat merupakan suatu kenyataan sejarah yang tidakdapat dihindari atau bahkan disangkal oleh pemerintah (Noer Fauzi, 2000).Masyarakat adat merupakan segmen riil di dalam masyarakat Indonesia. Secaraformal pengakuan atau penerimaan atau pembenaran adanya masyarakat adat didalam struktur ketatanegaraan telah diatur pada pasal 18 UUD 1945 dan pada UUNo. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.Jauh sebelum konsep negara kerajaan atau kesultanan dikenal, di seluruh pelosok nusantara ini telah hidup dan berkembang kesatuan-kesatuan sosial politikyang berdaulat. Mereka secara otonom mengatur dan mengurus dirinya sertamengelola tanah dan sumber daya alam lainnya di habitat masing-masing. Komunitas-komunitas ini telah mengembangkan aturan-aturan (hukum) dan jugasistem kelembagaan (pemerintahan) untuk menjaga keseimbangan antar warga di dalam komunitas tersebut dan juga antara komunitas tersebut dengan alam sekitarnya. Penamaan terhadap komunitas adat dengan sistem sosial politik yang khas iniberbeda dari satu daerah ke daerah lain, misalnya di sebagian besar Aceh dikenal Kemukiman Gampong, di Tanah Batak Toba dikenal dengan Huta Horja, di Minangkabau dikenal dengan Nagari, di Siberut Kepulauan Mentawai dikenal dengan Laggai Uma, di pedalaman Borneo dikenal penamaan seperti Banua, Binua, Ketemanggungan, di Tana Toraja dikenal dengan Lembang Penanian, dan banyak lagi ragam lainnya. Berangkat dari kenyataan itu, penulis tertarik untuk mencari tahu tentang masyarakat adat di daerah kelahiran yaitu Provinsi Jambi. Dari beberapa tulisan mengenai Jambi, masih terdapat kekaburan mengenai masyarakat asli Jambi. Rasa keingintahuan mempertemukan penulis dengan satu dokumen tentang hukum adat Jambi yang telah lama ditulis oleh Ismail Zen, namun tidak dipublikasikan. Lewatsumber inilah penulis akan menyoroti tentang masyarakat adat Jambi dan tata aturan pengelolaan sumber daya alam, seperti halnya Sasi di Maluku. Perspektif  historis dinilai akan dapat membantu dalam mencoba memahami entitas masyarakat adat diprovinsi Jambi. Laggai Uma,di pedalaman Borneo dikenal penamaan seperti Banua, Binua, Ketemanggungan, di Tana Toraja dikenal dengan Lembang Penanian, dan banyak lagi ragam lainnya.Berangkat dari kenyataan itu, penulis tertarik untuk mencari tahu tentang masyarakat adat di daerah kelahiran yaitu Provinsi Jambi. Dari beberapa tulisan mengenai Jambi, masih terdapat kekaburan mengenai masyarakat asli Jambi. Rasa keingintahuan mempertemukan penulis dengan satu dokumen tentang hukum adat Jambi yang telah lama ditulis oleh Ismail Zen, namun tidak dipublikasikan. Lewat sumber inilah penulis akan menyoroti tentang masyarakat adat Jambi dan tata aturan pengelolaan sumber daya alam, seperti halnya Sasi di Maluku. Perspektif historis dinilai akan dapat membantu dalam mencoba memahami entitas masyarakat adat diprovinsi Jambi.
2.      Perumusan Masalah
Adapun perumusan yang di bahas dalam  makalah ini adalah:
1.      Masyarakat Adat Jambi dan Sistem Pemerintahannya
2.      Hukum Masyarakat Adat Jambi mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup
3.      Pelestarian hidup dan Ekosistem

3.  Pembahasan
3.1  Masyarakat adat jambi dan system Pemerintahannya
Masyarakat adat Jambi terdiri dari beberapa kelompok suku atau kesatuan sosial yang lebih kecil, yaitu : Orang Melayu Jambi, Orang Batin, Orang Kerinci,Orang Penghulu, Suku Pindah, Suku Anak Dalam (Kubu) dan Suku Nelayan (Bajau). ). Asal masing-masing suku atau kesatuan sosial itu adalah dari induk bangsa (ras) yang berbeda sebagai berikut :

·         Orang Kerinci, Orang Batin dan Orang Bajau berasal dari Ras Melayu Tuo (Proto Melayu) yang diperkirakan telah mendiami daerah Jambi sejak kurang lebih 4.000 tahun SM

·         Orang Penghulu, Suku Pindah dan Melayu Jambi  berasal dari Ras Melayu Muda (Deutro Melayu) datang ke Indonesia pada kurang lebih 2.500 tahun SM dan berangsur-angsur datang ke Jambi.



Dari suku-suku tersebut diatas, Suku Batin, suku Kerinci dan Suku Melayu Jambi adalah suku-suku yang masyarakatnya telah memiliki adat istiadat sendiri-sendiri. Mereka mempunyai Kerong Kampung, Dusun, Negeri dengan corak khas masing-masing, yang gelar dan nama kepala sukunya juga menurut adatnya masing-masing.

Kemudian orang suku Pindah dan Orang suku Penghulu datang ke daerah Jambi dengan membaur/mengintegrasikan diri ke dalam suku-suku yang telah ada sebelumnya. Kedua suku pendatang ini membaurkan diri dengan masyarakat Batin dan Kerinci, dengan cara yang berbeda, yaitu :
a.       Orang suku Pindah yang  datang dari  Rawas, Muara Rupit dan Beringin Teluk (daerah Palembang). Mereka datang tidak mendirikan kampung (dusun) tersendiri, tetapi mereka mengasimilasi diri ke dalam kampung  masyarakat yang telah ada, dengan jalan melalui perkawinan atau mendirikan perumahan dikampung yang telah ada. Oleh sebab itu, tidak begitu nyata perbedaan antara keturunan aslinya dengan panduduk asli yang dimasukinya.
b.      Orang Suku Penghulu yang berasal dari Minangkabau, datang ke daerah Jambi terutama daerah Batin dengan membuka perkampungan baru. Mereka mendapat izin dari Raja, yang dinamakan Piagam untuk mendirikan Kampung (dusun) didaerah Jambi. Mereka datang ke daerah tersebut terutama adalah untuk  mencariemas.Oleh sebab itu, di daerah yang didiami orang Suku Penghulu pada umumnya mengandung emas. Hal ini dapat dibuktikan sampai saat ini
Kesemua suku-suku tersebut berdomisili terpencar-pencar. Ada yang tinggal di hulu sungai, lembah kaki pegunungan dan ada yang tinggal di muara sungai dan pantai.Mengingat pertimbangan bahwa telah tumbuh solidaritas yang kuat di antara sesama mereka, maka muncul keinginan untuk mendirikan suatu kerajaan besar yang tangguh agar dapat mempertahankan diri dari serangan kerajaan lain. Pelopor ide ini adalah Suku Batin, Suku Kerinci dan Suku Melayu Jambi. Akhirnya mereka menggabungkan diri dalam suatu kerajaan federasi, dengan falsafah adat sebagai berikut
·         Pucuk Jambi Sembilan Lurah
·         Betali Undang Betambang Teliti
·         Adat Tepas Paseko Data
·         Pegang Pakai yang Berlainan
Maksudnya ialah tidak ada suatu golongan yang dirugikan dalam menegakkan Kerajaan Jambi. Kemudian diangkatlah seorang Rajo (raja) selaku pimpinan Kerajaan Jambi. Dari perspektif pemerintahan, komunitas asli atau masyarakat adat ini bisa dilihat dari dua perspektif.
1.      Self governing community
yaitu sebuahkomunitas sosio-kultural yang bisa mengatur diri sendiri. Mereka memiliki lembaga sendiri, perangkat hukum, dan acuan yang jelas dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Kelompok ini sama sekali tidak memiliki ketergantungan terhadappihak luar, karena memang mereka mampu melakukan segala sesuatunya sendiri.

2.      Self local government
yaitu sebuah komunitas lokal yang sepintas lalu sulit untuk membedakannya dengan tipe seperti yang disebut sebelumnya, karena mereka juga memiliki lembaga pemerintahan sendiri, aturan main yang jelas, dan lain-lain. Namun jika ditilik lebih jauh, pada dasarnya kelompok ini tidak semerdeka self governing community karena komunitas ini memiliki keterikatan yang jelas dengan pemerintahan di atasnya yang pada,akhirnya.menimbulkan,ketergantungan Atau dengan kata lain, lembaga pemerintahan ada pada komunitas tersebut adalah perpanjangan tangan dari pemerintahan yang lebih tinggi.
Dilihat dari bentuk pemerintahannya, masyarakat adat Jambi termasuk kedalam kategori self governing community, karena mereka membentuk sendiri lembaga pemerintahan yang berbentuk kerajaan, dengan tanpa ada campur tangan pihak lain. Masyarakat adat Jambi juga mampu mengurusi segala sesuatu yang menyangkut politik, ekonomi, sosial dan budayanya yang tercantum dalam suatu hukum adat Jambi yang disebut Adat Lamo Pusako Usang (Undang-undang PucukJambi Sembilan Lurah).
Salah satu bagian yang menarik dari hukum adat itu ialah yang menyangkut pengelolaan common properties atau lingkungan hidup milik bersama, yang disebut Undang-undang yang Takluk Dengan Kekayaan Alam, Tasik Tambang, Lopak Lebung, Danau Laut, Rimbo Gano Dan Payo Rawang.

3.2  Hukum Masyarakat Adat Jambi Mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup
Yang dimaksud dengan kekayaan alam adalah semua kekayaan Hakkullah yang dikuasai oleh Rajo/pemerintah untuk dimanfaatkan oleh anak negeri/masyarakat. Ketentuannya diatur oleh Raja/pemerintah dengan undang-undang untuk menjaga ketertiban pemanfaatannya serta menjaga kelestarian alamdan melindungi satwa yang telah ditetapkan oleh Raja/pemerintah. Garis besar undang-undang pokoknya adalah: Undang-undang yang Takluk Dengan Kekayaan Alam, Tasik Tambang, Lopak Lebung, Danau Laut, Rimbo Gano dan Payo Rawang.

3.2.1        Tarik Tambang
Tasik adalah anak negeri/masyarakat yang mendulang emas di tepi tebing,pulau, muara sungai atau menyelam emas di dalam lubuk sungai. Pekerjaan tasikini tidak dikenakan pajak atau pancung alas; sedangkan yang dimaksud dengan tambang adalah; pencari emas atau mineral lain dengan cara besar-besaran,menggali/menambang, atau mengebor. Pekerjaan menambang ini sebelumdilaksanakan harus terlebih dahulu ada izin tertentu dari Raja/pemerintah dengan ketentuan khusus. Pekerjaan menambang ini harus membayar pajak yang telah ditetapkan oleh Raja/pemerintah


3.2.2        Lopak Lebung, Payo Rawang
Lopak lebung, payo rawang adalah sumber-sumber mencari nafkah seperti ikan untuk kebutuhan anak negeri/masyarakat. . Lopak lebung payo rawang ini ada dua klasifikasi,yaitu :

a.       Lopak lebung, payo rawang larangan :
Lopak lebung, payo rawang larangan, bahasa umumnya oleh masyarakat disebut lebung larangan. Lebung larangan ini adalah suatu mekanisme penangkapan ikan secara kolektif. Tingkatnya bermacam-macam, ada yang sifatnya/ruang lingkupnya kampung, dusun dan negeri atau luhak. Lebung larangan ini umumnya diadakan tiga tahun sekali. Siapa yang kedapatan menangkap ikan dalam lebung larangan di luar waktu yang ditetapkan dapat dihukum denda menurut adat; yaitu kambing seekor, beras dua puluh, kelapa duapuluh serta lemak manisnya.

Jika lebung larangan akan diambil ikannya paling tidak seminggu sebelumnya kepala kampung, dusun, negeri yang berbathin, luhak yang berpenghulu membunyikan canang untuk memberitahukan bahwa hari itu adalahhari pengambilan ikan di lebung larangan. Pada hari itu diangkat seorang Jenang,pada umumnya Jenang itu adalah kepala kampung atau kepala dusun lokasi lebung larangan. Semalam sebelumnya pada umumnya masyarakat bermalam dilokasi lebung tersebut dengan berbalas pantun, bernyanyi, serta bebujang gadis (acara muda-mudi) sampai pagi.

Pagi harinya di bunyikan gong supaya masyarakat mengetahui lokasi dan berkumpul untuk mendengarkan peraturan tata tertib mengacau lebung larangan yang diumumkan oleh Jenang. Syaratnya antara lain; semua masyarakat belum boleh mengambil ikan sebelum jenang menangkap ikan pertama. Setelah Jenang menangkap ikan dan mengangkatnya tinggi keatas, pertanda masyarakat sudah boleh menangkap ikan. Setiap masyarakat sewaktu akan pulang harus memberiikan secukupnya kepada jenang, banyaknya menurut jumlah pendapatan, guna ikan itu ialah untuk para tuo kampung/dusun, kepala bathin, penghulu luhak serta pejabat lainnya. untuk diberikan kepada para janda, anak yatim, orang cacat yang tidak mendapat perolehan pada hari itu. Adat mengatakan:

Dapat samo melabo, hilang samo merugi
Hati kuman samo dicecah, hati gajah samo dilapah

Pada hari mengacau, dilarang menggunakan alat penangkap tajam. Selainitu juga dilarang untuk merebut ikan kepunyaan janda anak yatim atau orang tuo sepuh. Siapa yang melanggar ketentuan diatas maka dihukum denda menurut hukum adat yaitu kambing seekor, beras dua puluh, kelapa dua puluh serta lemak manis.

b.      Menubo (Meracun Ikan)
Menubo/meracun ikan adalah menangkap ikan dengan cara memakai racun, memakai peledak, menyetrum di sungai, di danau lebung payo rawangdan dilaut. Perbuatan seperti itu adalah larangan oleh adat. Siapa yang melanggar larangan tersebut dapat di hukum menurut adat dan dituntut oleh hukum negara. Di beberapa daerah kampung dusun negeri yang berbatin,menubo boleh dilakukan tetapi mempunyai peraturan sendiri seperti hanya dilakukan sekali dalam kurun waktu 3 tahun serta tubo atau racun yang digunakan terbuat dari bahan alami seperti akar pohon yang ramah lingkungan,dan tidak membahayakan ekosistem yang ada. Menubo ikan sama halnya seperti mengacau lebung dimana sehari sebelum dilaksanakannya acara tersebut atau pada malam harinya akan ada acara seperti berdendang berbalas pantun antara muda-mudi dengan pengawasan dari para orang tua. Sebelumya juga harus dipatuhi batas-batas jumlah tubo atau racun yang akan digunakan tidak lebih dari3 kg, karena adat mengatakan:

            Pandang lah aik celik lah ikan, 
            Agak lah tubo yang kemembunuh,

Setiap akan menubo diangkatlah seorang Jenang yang dinamakan jenang  penuboan. Sebelum tubo dilepas kepala kampung menerangkan kepada penduduk tentang peraturan dalam menubo, antara lain; semua masyarakat boleh mengambil ikan dengan berperahu, berakit atau menarek yang artinyaberjalan menelusuri tepi sungai. Setelah selesai menubo, hasilnya disisakanuntuk kepala kampung yang kemudian dibagikan kepada para penguruskampung dan kepada yang membutuhkan sesuai dengan hasil penangkapannya.Karena adat mengatakan.

Dapat samo melaboh, hilang samo merugi.
Hati kuman samo di cecah, hati gajah samo di lapah.


3.2.3        Rimbo-Gano
Rimbo-gano adalah hutan rimba yang belum pernah dijamah/diolah manusia, yang sifatnya masih milik Hakkullah (dibawah kekuasaan Rajo/Pemerintah). Untuk memanfaatkan isi Rimbo Gano tersebut, diatur dengan peraturan rajo. Garis besarnya menurut adat adalah : Ke aik bebungo pasir, kedarat bebungo kayu. Artinya setiap warga yang akan mengambil batu pasir, kayukayan, rotan rumbainya harus membayar uang pancung-alas (pajak).

a.       Kayu Kayan, rotan Rumbai 
Seseorang warga yang akan mengambil kayu kayan dan rotan rumbai untuk kepeluan pribadi, harus mendapat izin dari pejabat. Jika itu untuk keperluan usaha, maka harus terlebih dahulu mendapat izin dari rajo/pemerintah.

Untuk seseorang yang ingin mengambil kayu dalam Rimbo Gano tersebut,namun belum sempat menebangnya, diharuskan untuk menandai dengan mengelikir. Tanda tersebut menandakan bahwa kayu tersebut sudah ada yang ingin menggunakan. Dalam hal ini, adat mengatakan

Dendang kayu betapak jalak,
Dendang kulit bekelikia,

Bagi siapa yang mengambil kayu yang sudah ditandai, maka itu adalah salah menurut adat.

b.      Buah-buahan Rimbo 
Buah-buahan Rimbo ialah pepohonan yang menghasilkan buah yang dapatdimakan manusia dan merupakan tanaman yang bukan ditanam oleh manusia,seperti: buah Tapui Rimbo, Rambutan Rimbo, Durian Rimbo, Petai Rimbo danlain sebagainya

Jika seseorang menemukan pohon yang belum masak buahnya, maka si penemu dapat menyiang pangkal pohonnya, untuk menandai bahwa buah itu sudah ditemukan. Ini yang dinamakan dengan kata adat

                              Dendang buah besiang besamak,

Kemudian jika si penemu pertama akan mengambil buah pohon itu, makaadat melarang membinasakan/menebang pohon tersebut. Orang pertama tidak boleh menghabiskan semua buahnya, hanya diperbolehkan mengambil 2/3 bagian, karena sisanya untuk orang-orang berikutnya. Jika terjadi penebangan,maka pelaku didenda kambing seekor, beras dua puluh, kelapa dua puluh, serta selemak semanisnya

c.       Getah Damar dan Rotan Rumbai
Getah Damar dan Rotan Rumbai adalah jenis tanaman yang memiliki getah dan yang termasuk golongan rotan. Warga yang ingin mengambilnya harus sepengetahuan pejabat setempat, tetapi jika akan mengambil di wilayah negeri/daerah lain harus terlebih dahulu meminta izin kepala negeri setempat serta membayar uang pajak.

d.      Berburu Berpekarang
Berburu Berpekarang adalah berburu memakai bedil, perangkap,menyumpit, memukat dan lain sebagainya. Untuk menangkap binatang buruan tersebut ada ketentuan dari raja/pemerintah, antara lain

1.      Dilarang berburu di waktu binatang hutan sedang hamil hingga anaknya besar (bisa  mencari makan sendiri).
2.      Dilarang berburu di waktu binatang hutan sedang hamil hingga anaknya besar (bisa  mencari makan sendiri).

3.3  Pelestarian Lingkungan Hidup dan Ekosistem
Lingkungan hidup merupakan sistem kehidupan dimana terdapat campur tangan manusia terhadap tatanan ekosistem yang perlu dilestarikan. Oleh karena itu menurut batasan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH), bahwa lingkungan hidup adalah sistem yang merupakan kesatuan ruang dengan semuabenda, daya, keadaan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang menentukan kesejahteraan manusia dan mahluk hidup lainnya.

Menurut Bruce Mitchell, 2000, satu hal yang penting dalam melihat ekosistem yaitu manusia sebagai bagian dari ekosistem itu sendiri. Oleh karena itu para peneliti dan perencana lingkungan seharusnya tidak hanya mempunyai sikap antroposentrik(manusia sebagai pusat), tetapi selama pengelolaan harus memikirkan kebutuhan spesies-spesies lain yang juga membutuhkan alam ini.

Manusia berinteraksi dengan lingkungan hidupnya, dimana manusia memanfaatkan segala sumber daya alam yang ada di dalamnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia harus memperhatikan kelangsungan hidup spesieslain (ekosistem) agar manusia memperoleh unsur-unsur yang diperlukan untuk produksi dan dikonsumsi. Pendayagunaan sesuatu sumber daya alam oleh manusia dengan eksploitasi menimbulkan perubahan-perubahan ekosistem sehingga mempengaruhi sumber daya yang lain beserta lingkungannya.

Lebih lanjut Soemarwoto mengatakan bahwa lingkungan hidup dapat diartikan sebagai usaha secara sadar untuk memelihara atau memperbaiki mutu lingkungan agar kebutuhan dasar manusia dapat dipenuhi dengan sebaik-baiknya. Sejalan dengan pendapat tersebut juga dikemukakan oleh Koesnadi Hardjasoemantri, bahwa pembangunan ekonomi yang mengelola kekayaan bumi Indonesia seperti kehutanan, perikanan, pertambangan dan lain sebagainya, harus senantiasa memperhatikan pengelolaan sumber daya alam. Disamping untuk memberikan kemanfaatan masa kini, juga harus menjamin kehidupan masa depan. Sumber daya alam yang terbaharui harus digunakan sehemat mungkin dan diusahakan habis nya selama mungkin.

Dengan demikian berarti pengelolaan sumber daya alam harus memperhatikan kelestarian lingkungannya demi menjaga ekosistem yang ada, agar dapat dinikmati oleh generasi berikutnya, dan juga untuk mencegah munculnya konflik di dalam masyarakat.