MASYARAKAT ADAT JAMBI
DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
1. Latar Belakang
Masyarakat adat atau kelompok suku sudah ada terlebih dahulu jauh sebelum
negara-bangsa (nation-state) ini terbentuk. Komunitas ini merupakan struktur
sosial yang tumbuh dari basis -basis lokal. Mereka memiliki pola hidup, sistem
pengaturan sosial dan budaya masing-masing sesuai dengan adat istiadat yang
telah dijalani turun temurun. Kelompok masyarakat adat ini memiliki ciri
masing-masing, yang membedakan antara
kelompok yang satu dengan kelompok lainnya.Secara historis kita mengetahui
bahwa masyarakat adat adalah suatu entitassosio-kultural yang mengatur diri
sendiri (self governing). Melalui lembaga dan acuan adat yang dimiliki,
identitas lokal diekspresikan, dan kepentingan kolektif dikomunitas tersebut
dikelola. Dalam situasi seperti inilah kita bisa melihat kelompok suku atau
masyarakat adat dalam coraknya yang asli. Institusi adat dibentuk dalam
komunitas tersebut sebagai pembakuan dari perilaku kolektif. Sebagai contoh,
tata kelembagaan masyarakat adat yang berada di pesisir, yang sebagian besar
anggota kelompok tersebut adalah nelayan, berbeda dengan tata kelembagaan
masyarakat adat di pedalaman yang hidup dari sektor pertanian. Artinya,
institusi yang ada di dalam masyarakat adat dikembangkan sesuai dengan kondisi
dan pola kehidupan komunitasnya. Jadi institusi yang akan terbentuk dalam
sebuah masyarakat adat adalah tatanan yang dirancang dan disepakati oleh
komunitas yang bersangkutan,dan institusi tersebut pada gilirannya menjadi
andalan dalam mengatasi masalah yang muncul dalam komunitas tersebut.Masyarakat
adat sebagai sebuah komunitas memiliki rasa saling mengerti,saling memiliki,
dan ikatan emosional atas dasar ikatan budaya yang didasari atas agama, bahasa,
adat istiadat yang sama dan satu perasaan demi nenek moyang yang sama. Ada
perbedaan yang mendasar antara masyarakat adat dan etnisitas.Masyarakat adat
adalah sebuah komunitas yang hidup di satu wilayah, dengan aturan yang
disepakati bersama untuk diberlakukan dalam wilayah tersebut. Sementara
etnisitas tidak memandang teritorial sebagai pemisah.Kehadiran masyarakat adat
merupakan suatu kenyataan sejarah yang tidakdapat dihindari atau bahkan
disangkal oleh pemerintah (Noer Fauzi, 2000).Masyarakat adat merupakan segmen riil
di dalam masyarakat Indonesia. Secaraformal pengakuan atau penerimaan atau
pembenaran adanya masyarakat adat didalam struktur ketatanegaraan telah diatur
pada pasal 18 UUD 1945 dan pada UUNo. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.Jauh sebelum konsep negara kerajaan atau kesultanan dikenal, di seluruh
pelosok nusantara ini telah hidup dan berkembang kesatuan-kesatuan sosial
politikyang berdaulat. Mereka secara otonom mengatur dan mengurus dirinya
sertamengelola tanah dan sumber daya alam lainnya di habitat masing-masing.
Komunitas-komunitas ini telah mengembangkan aturan-aturan (hukum) dan
jugasistem kelembagaan (pemerintahan) untuk menjaga keseimbangan antar warga di
dalam komunitas tersebut dan juga antara komunitas tersebut dengan alam
sekitarnya. Penamaan terhadap komunitas adat dengan sistem sosial politik yang
khas iniberbeda dari satu daerah ke daerah lain, misalnya di sebagian besar
Aceh dikenal Kemukiman Gampong, di Tanah Batak Toba dikenal dengan Huta
Horja, di Minangkabau dikenal dengan Nagari, di Siberut Kepulauan
Mentawai dikenal dengan Laggai Uma, di pedalaman Borneo dikenal penamaan
seperti Banua, Binua, Ketemanggungan, di Tana Toraja dikenal dengan
Lembang Penanian, dan banyak lagi ragam lainnya. Berangkat dari kenyataan
itu, penulis tertarik untuk mencari tahu tentang masyarakat adat di daerah
kelahiran yaitu Provinsi Jambi. Dari beberapa tulisan mengenai Jambi, masih
terdapat kekaburan mengenai masyarakat asli Jambi. Rasa keingintahuan
mempertemukan penulis dengan satu dokumen tentang hukum adat Jambi yang telah
lama ditulis oleh Ismail Zen, namun tidak dipublikasikan. Lewatsumber inilah
penulis akan menyoroti tentang masyarakat adat Jambi dan tata aturan
pengelolaan sumber daya alam, seperti halnya Sasi di Maluku. Perspektif historis dinilai akan dapat membantu dalam
mencoba memahami entitas masyarakat adat diprovinsi Jambi. Laggai Uma,di
pedalaman Borneo dikenal penamaan seperti Banua, Binua, Ketemanggungan, di Tana
Toraja dikenal dengan Lembang Penanian, dan banyak lagi ragam lainnya.Berangkat
dari kenyataan itu, penulis tertarik untuk mencari tahu tentang masyarakat adat
di daerah kelahiran yaitu Provinsi Jambi. Dari beberapa tulisan mengenai Jambi,
masih terdapat kekaburan mengenai masyarakat asli Jambi. Rasa keingintahuan
mempertemukan penulis dengan satu dokumen tentang hukum adat Jambi yang telah
lama ditulis oleh Ismail Zen, namun tidak dipublikasikan. Lewat sumber inilah
penulis akan menyoroti tentang masyarakat adat Jambi dan tata aturan
pengelolaan sumber daya alam, seperti halnya Sasi di Maluku. Perspektif
historis dinilai akan dapat membantu dalam mencoba memahami entitas masyarakat
adat diprovinsi Jambi.
2. Perumusan Masalah
Adapun perumusan yang di bahas
dalam makalah ini adalah:
1.
Masyarakat Adat
Jambi dan Sistem Pemerintahannya
2.
Hukum Masyarakat
Adat Jambi mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup
3.
Pelestarian
hidup dan Ekosistem
3. Pembahasan
3.1 Masyarakat adat jambi dan system Pemerintahannya
Masyarakat adat Jambi terdiri dari beberapa kelompok suku atau kesatuan
sosial yang lebih kecil, yaitu : Orang Melayu Jambi, Orang Batin, Orang
Kerinci,Orang Penghulu, Suku Pindah, Suku Anak Dalam (Kubu) dan Suku Nelayan
(Bajau). ). Asal masing-masing suku atau kesatuan sosial itu adalah dari induk bangsa (ras)
yang berbeda sebagai berikut :
·
Orang Kerinci, Orang Batin dan Orang Bajau
berasal dari Ras Melayu Tuo (Proto Melayu) yang diperkirakan telah mendiami
daerah Jambi sejak kurang lebih 4.000 tahun SM
·
Orang Penghulu, Suku Pindah dan Melayu
Jambi berasal dari Ras Melayu Muda
(Deutro Melayu) datang ke Indonesia pada kurang lebih 2.500 tahun SM dan
berangsur-angsur datang ke Jambi.
Dari suku-suku tersebut diatas, Suku Batin, suku Kerinci dan Suku Melayu
Jambi adalah suku-suku yang masyarakatnya telah memiliki adat istiadat
sendiri-sendiri. Mereka mempunyai Kerong Kampung, Dusun, Negeri dengan corak
khas masing-masing, yang gelar dan nama kepala sukunya juga menurut adatnya
masing-masing.
Kemudian orang suku Pindah dan Orang suku Penghulu datang ke daerah Jambi
dengan membaur/mengintegrasikan diri ke dalam suku-suku yang telah ada
sebelumnya. Kedua suku pendatang ini membaurkan diri dengan masyarakat Batin
dan Kerinci, dengan cara yang berbeda, yaitu :
a.
Orang suku Pindah yang datang dari
Rawas, Muara Rupit dan Beringin Teluk (daerah Palembang). Mereka datang
tidak mendirikan kampung (dusun) tersendiri, tetapi mereka mengasimilasi diri
ke dalam kampung masyarakat yang telah
ada, dengan jalan melalui perkawinan atau mendirikan perumahan dikampung yang
telah ada. Oleh sebab itu, tidak begitu nyata perbedaan antara keturunan
aslinya dengan panduduk asli yang dimasukinya.
b.
Orang Suku Penghulu yang berasal dari
Minangkabau, datang ke daerah Jambi terutama daerah Batin dengan membuka
perkampungan baru. Mereka mendapat izin dari Raja, yang dinamakan Piagam untuk
mendirikan Kampung (dusun) didaerah Jambi. Mereka datang ke daerah tersebut
terutama adalah untuk mencariemas.Oleh
sebab itu, di daerah yang didiami orang Suku Penghulu pada umumnya mengandung
emas. Hal ini dapat dibuktikan sampai saat ini
Kesemua suku-suku tersebut berdomisili terpencar-pencar. Ada yang tinggal
di hulu sungai, lembah kaki pegunungan dan ada yang tinggal di muara sungai dan
pantai.Mengingat pertimbangan bahwa telah tumbuh solidaritas yang kuat di
antara sesama mereka, maka muncul keinginan untuk mendirikan suatu kerajaan
besar yang tangguh agar dapat mempertahankan diri dari serangan kerajaan
lain. Pelopor ide ini adalah Suku Batin, Suku Kerinci dan Suku Melayu
Jambi. Akhirnya mereka menggabungkan diri dalam suatu kerajaan federasi, dengan
falsafah adat sebagai berikut
·
Pucuk Jambi Sembilan Lurah
·
Betali Undang Betambang Teliti
·
Adat Tepas Paseko Data
·
Pegang Pakai yang Berlainan
Maksudnya ialah tidak ada suatu golongan yang dirugikan
dalam menegakkan Kerajaan Jambi. Kemudian diangkatlah seorang Rajo (raja)
selaku pimpinan Kerajaan Jambi. Dari perspektif pemerintahan, komunitas asli
atau masyarakat adat ini bisa dilihat dari dua perspektif.
1. Self governing community
yaitu sebuahkomunitas sosio-kultural yang
bisa mengatur diri sendiri. Mereka memiliki lembaga sendiri, perangkat hukum,
dan acuan yang jelas dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Kelompok ini sama
sekali tidak memiliki ketergantungan terhadappihak luar, karena memang mereka
mampu melakukan segala sesuatunya sendiri.
2. Self local government
yaitu sebuah komunitas lokal yang sepintas lalu sulit untuk membedakannya
dengan tipe seperti yang disebut sebelumnya, karena mereka juga memiliki
lembaga pemerintahan sendiri, aturan main yang jelas, dan lain-lain. Namun jika
ditilik lebih jauh, pada dasarnya kelompok ini tidak semerdeka self governing
community karena komunitas ini memiliki keterikatan yang jelas dengan
pemerintahan di atasnya yang
pada,akhirnya.menimbulkan,ketergantungan Atau dengan kata lain, lembaga pemerintahan ada pada komunitas tersebut
adalah perpanjangan tangan dari pemerintahan yang lebih tinggi.
Dilihat dari bentuk pemerintahannya, masyarakat adat Jambi termasuk kedalam
kategori self governing community, karena mereka membentuk sendiri lembaga
pemerintahan yang berbentuk kerajaan, dengan tanpa ada campur tangan pihak
lain. Masyarakat adat Jambi juga mampu mengurusi segala sesuatu yang menyangkut
politik, ekonomi, sosial dan budayanya yang tercantum dalam suatu hukum adat
Jambi yang disebut Adat Lamo Pusako Usang (Undang-undang
PucukJambi Sembilan Lurah).
Salah satu bagian yang menarik dari hukum adat itu ialah yang menyangkut
pengelolaan common properties atau lingkungan hidup milik bersama, yang disebut
Undang-undang yang Takluk Dengan Kekayaan Alam, Tasik Tambang,
Lopak Lebung, Danau Laut, Rimbo Gano Dan Payo Rawang.
3.2 Hukum Masyarakat Adat Jambi
Mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup
Yang dimaksud dengan kekayaan alam adalah semua kekayaan Hakkullah yang
dikuasai oleh Rajo/pemerintah untuk dimanfaatkan oleh anak negeri/masyarakat.
Ketentuannya diatur oleh Raja/pemerintah dengan undang-undang untuk menjaga
ketertiban pemanfaatannya serta menjaga kelestarian alamdan melindungi satwa
yang telah ditetapkan oleh Raja/pemerintah. Garis besar undang-undang
pokoknya adalah: Undang-undang yang Takluk Dengan Kekayaan Alam, Tasik
Tambang, Lopak Lebung, Danau Laut, Rimbo Gano dan Payo Rawang.
3.2.1
Tarik
Tambang
Tasik adalah anak negeri/masyarakat yang mendulang emas di tepi
tebing,pulau, muara sungai atau menyelam emas di dalam lubuk sungai. Pekerjaan
tasikini tidak dikenakan pajak atau pancung alas; sedangkan yang dimaksud
dengan tambang adalah; pencari emas atau mineral lain dengan cara
besar-besaran,menggali/menambang, atau mengebor. Pekerjaan menambang ini
sebelumdilaksanakan harus terlebih dahulu ada izin tertentu dari
Raja/pemerintah dengan ketentuan khusus. Pekerjaan menambang ini harus membayar
pajak yang telah ditetapkan oleh Raja/pemerintah
3.2.2
Lopak
Lebung, Payo Rawang
Lopak lebung, payo rawang adalah sumber-sumber mencari nafkah seperti
ikan untuk kebutuhan anak negeri/masyarakat. . Lopak lebung payo rawang ini ada
dua klasifikasi,yaitu :
a.
Lopak lebung, payo rawang larangan
:
Lopak lebung, payo rawang larangan, bahasa
umumnya oleh masyarakat disebut lebung larangan. Lebung larangan ini adalah suatu
mekanisme penangkapan ikan secara kolektif. Tingkatnya bermacam-macam, ada yang
sifatnya/ruang lingkupnya kampung, dusun dan negeri atau luhak. Lebung larangan
ini umumnya diadakan tiga tahun sekali. Siapa yang kedapatan menangkap ikan
dalam lebung larangan di luar waktu yang ditetapkan dapat dihukum denda menurut
adat; yaitu kambing seekor, beras dua puluh, kelapa duapuluh serta lemak
manisnya.
Jika lebung larangan akan diambil ikannya
paling tidak seminggu sebelumnya kepala kampung, dusun, negeri yang berbathin,
luhak yang berpenghulu membunyikan canang untuk memberitahukan bahwa hari
itu adalahhari pengambilan ikan di lebung larangan. Pada hari itu diangkat
seorang Jenang,pada umumnya Jenang itu adalah kepala kampung atau kepala dusun
lokasi lebung larangan. Semalam sebelumnya pada umumnya masyarakat bermalam
dilokasi lebung tersebut dengan berbalas pantun, bernyanyi, serta
bebujang gadis (acara muda-mudi) sampai pagi.
Pagi harinya di bunyikan gong supaya masyarakat mengetahui lokasi dan
berkumpul untuk mendengarkan peraturan tata tertib mengacau lebung larangan yang
diumumkan oleh Jenang. Syaratnya antara lain; semua masyarakat belum boleh
mengambil ikan sebelum jenang menangkap ikan pertama. Setelah Jenang
menangkap ikan dan mengangkatnya tinggi keatas, pertanda masyarakat sudah boleh
menangkap ikan. Setiap masyarakat sewaktu akan pulang harus memberiikan
secukupnya kepada jenang, banyaknya menurut jumlah pendapatan, guna ikan itu
ialah untuk para tuo kampung/dusun, kepala bathin, penghulu luhak serta pejabat
lainnya. untuk diberikan kepada para janda, anak yatim, orang cacat yang
tidak mendapat perolehan pada hari itu. Adat mengatakan:
Dapat samo melabo, hilang samo merugi
Hati kuman samo dicecah, hati gajah samo
dilapah
Pada hari mengacau, dilarang
menggunakan alat penangkap tajam. Selainitu juga dilarang untuk merebut
ikan kepunyaan janda anak yatim atau orang tuo sepuh. Siapa yang melanggar
ketentuan diatas maka dihukum denda menurut hukum adat yaitu kambing seekor,
beras dua puluh, kelapa dua puluh serta lemak manis.
b.
Menubo (Meracun Ikan)
Menubo/meracun ikan adalah menangkap ikan
dengan cara memakai racun, memakai peledak, menyetrum di sungai, di danau
lebung payo rawangdan dilaut. Perbuatan seperti itu adalah larangan oleh adat.
Siapa yang melanggar larangan tersebut dapat di hukum menurut adat dan dituntut
oleh hukum negara. Di beberapa daerah kampung dusun negeri yang berbatin,menubo
boleh dilakukan tetapi mempunyai peraturan sendiri seperti hanya dilakukan
sekali dalam kurun waktu 3 tahun serta tubo atau racun yang digunakan terbuat
dari bahan alami seperti akar pohon yang ramah lingkungan,dan tidak
membahayakan ekosistem yang ada. Menubo ikan sama halnya seperti mengacau
lebung dimana sehari sebelum dilaksanakannya acara tersebut atau pada malam
harinya akan ada acara seperti berdendang berbalas pantun antara muda-mudi
dengan pengawasan dari para orang tua. Sebelumya juga harus dipatuhi
batas-batas jumlah tubo atau racun yang akan digunakan tidak lebih dari3 kg,
karena adat mengatakan:
Pandang lah aik celik
lah ikan,
Agak
lah tubo yang kemembunuh,
Setiap akan menubo diangkatlah seorang Jenang yang
dinamakan jenang penuboan. Sebelum tubo dilepas kepala kampung
menerangkan kepada penduduk tentang peraturan dalam menubo, antara lain; semua
masyarakat boleh mengambil ikan dengan berperahu, berakit atau
menarek yang artinyaberjalan menelusuri tepi sungai. Setelah selesai
menubo, hasilnya disisakanuntuk kepala kampung yang kemudian dibagikan kepada
para penguruskampung dan kepada yang membutuhkan sesuai dengan hasil
penangkapannya.Karena adat mengatakan.
Dapat samo melaboh, hilang samo merugi.
Hati kuman samo di cecah, hati gajah
samo di lapah.
3.2.3
Rimbo-Gano
Rimbo-gano adalah hutan rimba yang belum pernah dijamah/diolah manusia,
yang sifatnya masih milik Hakkullah (dibawah kekuasaan Rajo/Pemerintah). Untuk
memanfaatkan isi Rimbo Gano tersebut, diatur dengan peraturan rajo. Garis
besarnya menurut adat adalah : Ke aik bebungo pasir, kedarat bebungo kayu.
Artinya setiap warga yang akan mengambil batu pasir, kayukayan,
rotan rumbainya harus membayar uang pancung-alas (pajak).
a.
Kayu Kayan, rotan Rumbai
Seseorang warga yang akan mengambil kayu
kayan dan rotan rumbai untuk kepeluan pribadi, harus mendapat izin dari
pejabat. Jika itu untuk keperluan usaha, maka harus terlebih dahulu
mendapat izin dari rajo/pemerintah.
Untuk seseorang yang ingin mengambil kayu
dalam Rimbo Gano tersebut,namun belum sempat menebangnya, diharuskan untuk
menandai dengan mengelikir. Tanda tersebut menandakan bahwa kayu tersebut sudah
ada yang ingin menggunakan. Dalam hal ini, adat mengatakan
Dendang kayu betapak jalak,
Dendang kulit bekelikia,
Bagi siapa yang mengambil kayu yang sudah ditandai, maka itu adalah salah
menurut adat.
b.
Buah-buahan Rimbo
Buah-buahan Rimbo ialah pepohonan yang
menghasilkan buah yang dapatdimakan manusia dan merupakan tanaman yang bukan
ditanam oleh manusia,seperti: buah Tapui Rimbo, Rambutan Rimbo, Durian Rimbo,
Petai Rimbo danlain sebagainya
Jika seseorang menemukan pohon yang belum masak buahnya, maka si penemu
dapat menyiang pangkal pohonnya, untuk menandai bahwa buah itu sudah ditemukan.
Ini yang dinamakan dengan kata adat
Dendang buah
besiang besamak,
Kemudian jika si penemu pertama akan mengambil buah pohon itu, makaadat
melarang membinasakan/menebang pohon tersebut. Orang pertama tidak boleh
menghabiskan semua buahnya, hanya diperbolehkan mengambil 2/3 bagian, karena
sisanya untuk orang-orang berikutnya. Jika terjadi penebangan,maka pelaku
didenda kambing seekor, beras dua puluh, kelapa dua puluh, serta selemak
semanisnya
c.
Getah Damar dan Rotan Rumbai
Getah Damar dan Rotan Rumbai adalah jenis
tanaman yang memiliki getah dan yang termasuk golongan rotan. Warga yang ingin
mengambilnya harus sepengetahuan pejabat setempat, tetapi jika akan mengambil
di wilayah negeri/daerah lain harus terlebih dahulu meminta izin kepala negeri
setempat serta membayar uang pajak.
d.
Berburu Berpekarang
Berburu Berpekarang adalah berburu memakai
bedil, perangkap,menyumpit, memukat dan lain sebagainya. Untuk menangkap
binatang buruan tersebut ada ketentuan dari raja/pemerintah, antara lain
1. Dilarang berburu di waktu binatang hutan sedang hamil hingga
anaknya besar (bisa mencari
makan sendiri).
2. Dilarang berburu di waktu binatang hutan sedang hamil hingga
anaknya besar (bisa mencari
makan sendiri).
3.3
Pelestarian Lingkungan Hidup dan Ekosistem
Lingkungan hidup merupakan sistem kehidupan dimana terdapat
campur tangan manusia terhadap tatanan ekosistem yang perlu dilestarikan.
Oleh karena itu menurut batasan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH), bahwa
lingkungan hidup adalah sistem yang merupakan kesatuan ruang dengan semuabenda,
daya, keadaan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang menentukan
kesejahteraan manusia dan mahluk hidup lainnya.
Menurut Bruce Mitchell, 2000, satu hal yang penting dalam melihat ekosistem
yaitu manusia sebagai bagian dari ekosistem itu sendiri. Oleh karena itu para
peneliti dan perencana lingkungan seharusnya tidak hanya mempunyai sikap
antroposentrik(manusia sebagai pusat), tetapi selama pengelolaan harus
memikirkan kebutuhan spesies-spesies lain yang juga membutuhkan alam ini.
Manusia berinteraksi dengan lingkungan hidupnya, dimana manusia
memanfaatkan segala sumber daya alam yang ada di dalamnya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Manusia harus memperhatikan kelangsungan hidup spesieslain
(ekosistem) agar manusia memperoleh unsur-unsur yang diperlukan untuk produksi
dan dikonsumsi. Pendayagunaan sesuatu sumber daya alam oleh manusia dengan
eksploitasi menimbulkan perubahan-perubahan ekosistem sehingga mempengaruhi
sumber daya yang lain beserta lingkungannya.
Lebih lanjut Soemarwoto mengatakan bahwa lingkungan hidup dapat diartikan
sebagai usaha secara sadar untuk memelihara atau memperbaiki mutu lingkungan
agar kebutuhan dasar manusia dapat dipenuhi dengan sebaik-baiknya. Sejalan
dengan pendapat tersebut juga dikemukakan oleh Koesnadi Hardjasoemantri,
bahwa pembangunan ekonomi yang mengelola kekayaan bumi Indonesia seperti
kehutanan, perikanan, pertambangan dan lain sebagainya, harus senantiasa
memperhatikan pengelolaan sumber daya alam. Disamping untuk memberikan kemanfaatan
masa kini, juga harus menjamin kehidupan masa depan. Sumber daya alam yang
terbaharui harus digunakan sehemat mungkin dan diusahakan habis nya selama
mungkin.
Dengan demikian berarti pengelolaan sumber daya alam harus memperhatikan
kelestarian lingkungannya demi menjaga ekosistem yang ada, agar dapat
dinikmati oleh generasi berikutnya, dan juga untuk mencegah munculnya konflik
di dalam masyarakat.